ANAK KETURUNAN MALING

17 09 2008

Cerpen : Sucipte Jamuhur MS

“Malam itu larut semakin mencekam, diiringi deburan ombak menghantam tebing karang di pantai Kute. Pangeran Arya Johor bertitah menghunuskan pedangnya. Keempat pangeran itu bertarung! Sengit! Beradu mantra memperturutkan hasrat, saling hujam dengan pedang haus yang siap meminum segar darah. Aneh dan hebatnya, tak setetes darah pun jatuh di atas pasir pantai putih itu. Bahkan erangan kesakitan hampir tak terdengar. Tapi sayang Putri Mandalike yang diperebutkan, naas. Melemparkan tubuhnya ditelan jurang terjal dan dalamnya lautan. Konon sang putri berubah menjadi Nyale, hewan laut yang hanya muncul setahun sekali. Jadi konsumsi masal rakyatnya, hingga sekarang…” Willy, Yono, Indah dan Risa takjub mendengar cerita Saka yang menggebu-gebu, walau mobil perak yang membawa mereka sudah dua hari dalam perjalanan.

”Guys, Journey to the east yang melelahkan terobati sudah, kita sambut guide sekaligus leader kita, putra kebanggaan Lombok, Lalu Ahmad Sasaka…!?” Seru Willy remaja blesteran itu puas, mereka bertepuk tangan gembira menapaki Bumi Gora, Lombok.

Proposal sudah melayang dan hinggap di meja Bapak Tuan Guru Bajang. Proyek video company profile dalam rangka visit Indonesia. Gubernur NTB memberi persetujuan bijaknya seraya berfatwa tentang kehidupan pada para pemuda multi media, mahasiswa kota Malang itu.

Mereka sudah mendarat di pelabuhan Lembar pulau Lombok. Perjalanan dari Padang Bay Bali dimanfaatkan mengisi tenaga, istirahat. Sengatan matahari siang memeluk hangat dan ramah. Darap nafas Nusantara masih sedamai aroma teraphy bagi jiwa, kekayaanya melimpah. Dari tempat duduknya, Saka dulunya berpikir inilah kebodohan mendasar dari sebuah kerugian, sesungging senyum menepis santai pikiran itu. Sayang kalau tidak dipublikasikan, tapi hal itu bukanlah satu-satunya alasan.

Tiga tahun lalu, seorang pemuda tangguh merobek dan membakar kulit Saka dalam duel peresean, hantaman keras bertubi-tubi oleh sabetan pedang rotan berbalut serbuk beling di kedua ujungnya, berkali-kali. Seperti kebiasaanya, Saka selalu bercerita panjang lebar, membanggakan keberanian bertarungnya di perhelatan tradisi suku Sasak itu. Keremajaan dan kejantanan seorang laki-laki dibuktikan lewat arena peresean. Metamorfosa pertarungan itu, Saka merasa cukup dewasa berhadapan dan berhelat dengan dunia. Piagam kebanggaan seorang laki-laki bagi Saka, dari pertarungan itu menyisakan goresan luka sabetan pedang rotan di sekujur tubuhnya, masih berbekas hingga sekarang..

Satu jam perjalanan, kini mobil mereka sudah merapat di sebuah masjid megah. Yono telihat gerah, Aremania itu meneguk habis air mineral dari botol, baju team Arema dikibasnya pelan. Saka dan rombongannya harus menunaikan sholat ashar di sebuah masjid di desa Kopang. Setelah singgah di Mataram membeli buah tangan untuk orang tua yang ditinggalnya tiga tahun sudah, kerinduan Saka mengharu biru dalam syukur, menambah kekhusu’annya di shaf terdepan.
Yono masbuk satu rakaat sholatnya, karena keasyikan mengabadikan mozaik batu marmer keharibaan rumah tuhan. Kamera canggih itu parkir begitu saja di belakangnya. Sholat berjalan khusu’ hingga salam.

“Astagfirullah, handycamku kemana…!? Tadi aku letakkan disini, dibelakang! Sekarang sudah tidak ada…!?” suara hentakan Yono mengusik kekhusu’an Saka dan Willy yang sedang berdoa.

“Bukannya tertinggal di mobil?” Sergah Saka mengerenyitkan dahi.

“Aku belum pikun rek, tadi aku taruh disini…!?”

“Coba dicari lagi…!?” Saran Willy menenangkan. Mereka sibuk mencari-cari disekeliling hingga ke dalam mobil, Indah dan Risa menunggu disana. Kedua cewek cantik itu tidak tahu menahu. Rombongan yang kelelahan itu bertambah bingung dan panik.

Handycam teranyar yang mereka bawa untuk dokumentasi, raib entah kemana. Mereka terdiam nelangsa memikirkan kejadian aneh hilangnya handycam di tempat sakral siang itu. Indah dan Risa sempat melihat tiga pemuda punk sempat melewati trotoar depan masjid tapi hanya sekejap mata.

Beban seberat masjid itu menimpa Saka, kepalanya tertunduk seolah kepalanya terlalu berat untuk lehernya. Sekelebat pikiran-pikiran negatif menghantui, wajah Saka merah padam menahan malu dihadapan teman-teman yang menatapnya tanpa arti. Ironi ini membuat Yono tak bisa menahan emosi, kamera yang dibeli tabungan susah payahnya hilang di sebuah tempat yang teramat suci.

“Bukannya kamu sering cerita panjang lebar! Kalau masyarakat disini baik? Ini yang dimaksud Tatas Tuhu Trasna? heh? Maling…!?” Aremania itu termakan habis emosi, menghajar Saka dengan kata-kata yang menjurus pada sentimen ras.. Kata itu bagai mencabik-cabik ulu hati Saka bahkan menerjangnya. Seketika itu Saka membekap baju biru PS Arema Yono hingga tak berbentuk.
“Heh, jangan sembarangan bicara Yon…!”

“Nyatanya apa…?”

“Sudahlah Yon, sudah…!” Willy melerai mencoba menenangkan.

“Jadi menurutmu kita pasrah saja, begitu…? Itu barang mahel rek. Aku tidak rela handycamku hilang, kamu harus bertanggung jawab, Saka…!? Urat leher Yono mengencang, suaranya keras seolah auman singa yang kehilangan daging santapannya, Yono jadi edan.

“Ini tanggung jawabku sebagai ketua. Beri aku waktu menemukan handycam itu! Ayo Willy? Yang lain tunggu disini!”

“Mau sampe kapan? Sampe masjid ini runtuh?”

Pertanyaan Yono tidak memberi jawaban, hanya ada satu jawaban dalam kepala Saka, yaitu menemukan kembali handycam milik Yono yang hilang. Karena disanalah letak segalanya; nama baik pulau seribu masjid yang Saka banggakan, Reputasi PH yang dipimpinnya di hadapan Gubernur, persahabatan, bahkan cintanya pada Risa. Ada getar-getar halus yang menyusup ke relung hatinya saat memandang sosok insan cantik satu ini. Rasa itu masih tertanam di dasar hati Saka, danau segara anak di gunung rinjani menanti ungkapan cinta itu.

Willy resah dan putus asa, Saka yang terlihat limbung mempercepat jalannya. Tiga orang pemuda berpakaian punk terlihat santai di tongkrongannya. “Apapun yang terjadi Willy, jangan ikut campur! Mengerti?” Pinta Saka dengan wajah geram, Willy hanya manggut-manggut setuju.
Saka menyapa ketiga pemuda punk itu ramah. Willy hanya terdiam, karena tidak mengerti sepatah kata pun, Saka berbaur dengan komunikatifnya dalam aksen bahasa Sasak yang lembut dan terdengar ramah, lebih mirip aksen Bali tapi ada beberapa kata dalam bahasa Jawa.
Pembicaraan awalnya alot. Willy tersentak membulatkan mulutnya melihat Saka mengepalkan tangan kanan yang di lingkari arloji peraknya. Secepat kilat, kepalan tangan itu melayang di udara dan mencari landasan mendarat, menghujam keras di wajah seorang bertubuh paling besar diantaranya, orang itu terpelanting lalu terkapar, menggeliat dan tak terlihat bangun kembali.
Saka mengamuk begitu saja setelah adu mulut. Gerakan Saka sangat lincah dan bertenaga. Sesekali pukulan si mowhawk dan si tindik tepat sasaran mengenai wajah Saka. Saka terpelanting beberapa centi. Diluar dugaan, ia pulih dengan cepat menguasai diri, sigap memberondong kedua pemuda itu tepat di perut dan dada. Tak ayal, tubuh ketiga pemuda punk itu sudah menggeliat di atas tanah. Baru kali ini Willy tidak mempercayai matanya, ia tidak dapat berkata-kata memberi komentar. Willy menelan dalam ludahnya, tidak mengenal sosok Saka yang dikenalnya tiga tahun terakhir, tatapan matanya liar penuh amarah. Saka yang periang dan bijaksana bagitu brutal kali ini.

Dengan nafas tersengal sesekali batuk-batuk, lalu mengusap darah yang mengucur dari mulutnya. “Tiyang peringet side-side semeton, tunas paice leq de side Allah. Solah de gawek solah de dait…!” Saka memperingati mereka agar bertaubat, menanam kebaikan maka akan menuai kebaikan pula. Tandasnya tegas lalu mengajak Willy kembali.

Tak lama Saka dan Willy sudah berkumpul lagi dengan Yono, Indah dan Risa di pelataran masjid. Yono masih terlihat sangsi dengan Saka yang dirasa bertanggung jawab. Sementara Risa dan Indah diam membatin.

“Ayo, kalian istirahat dan makan siang dirumahku, sementara aku cari handycam itu! Please Yon, kasi aku waktu sampe nanti sore!” ajak Saka agak memelas. Lalu berjalan beberapa meter ke arah barat. Sebuah rumah sederhana beratap jerami tersenyum menyambut keresahan mereka, hembusan sepoi sore menyatu dengan rindang dan asri, rumput hijau bertebaran bersama warna-warni bunga bogenvile musim semi, semarak.

Inaq (Ibu) dan Mamiq (bapak) terlihat surprise menyambut kedatangan anaknya Saka beserta teman-temannya. Tapi Saka langsung saja ngeloyor pergi, setelah mencium tangan Inaq dan Mamiqnya. Sementara Indah, Risa, Willy dan Yono dijamu Inaq Saka dengan makan khas Lombok disela ketegangan pikiran mereka.

Terik siang larut terbawa senja temaram, matahari hendak berselimut ke arah maghrib menandakan hari telah sore. Namun batang hidung Saka belum juga terlihat. Malah dua orang hansip dan Lalu Rais, kepala desa datang mencari Saka, menuntut tanggung jawab atas perkelahiannya dengan pemuda desa sebelah. Semua resah, Kepala desa berkumis tebal itu terdengar marah-marah.

Inaq dan Mamiq terkejut dan panik mendengar kejadian itu. Ruang tamu yang sempit itu bertambah ramai dengan kehadiran Kak Manto, sepupu Saka yang juga mencari Saka. Menanyakan perihal anaknya si Rama yang bersikap aneh, mengunci diri dalam kamarnya. Anak itu memaksa kak Manto memanggil Saka.

”Assalamu’alaikum…!” yang dinanti akhirnya pulang. Saka tampak lesu dan putus asa, panas tubuhnya mengeluarkan bau keringat. Saka menjelaskan perkelahian dengan ketiga pemuda desa sebelah. Saka sangat terganggu dengan kata-kata kotor mereka, sangat tidak dibenarkan agama dan adat. Padahal Saka sudah bersikap santun dengan bahasa yang terpilih, Lalu Rais memaklumi.
“Tiyang (saya) tunas maaf, tiyang khilaf, ampurayan Miq…!” jelas Saka tertunduk. Setelah penjelasan selesai, Kak Manto meminta Saka menemui anaknya. Rama mengurung diri dari tadi siang. Semua di buat bertanya-tanya, Saka berpikir sejenak menyipitkan matanya.

“Masya Allah…!” Celetuk Saka, perhatian tertuju padanya. Cepat Saka berlari menuju rumah kak Manto. Yono, Willy, Indah dan Risa saling menatap dan ikut berlari ke rumah Kak Manto yang tak jauh. Si Rama belum juga mau membuka pintu kamarnya setelah digedor Saka beberapa kali. Kak Manto, pak Lalu Rais dan dua orang hansip ikut membujuknya.

Akhirnya si bandel Rama dengan wajah pucat dan bersalah membuka pintu kamarnya, setelah Saka berkata akan memberikan permintaan Rama sesuai janjinya. Semua dibuat kebingungan, juga oleh senja di desa yang banyak berjejer rumah adat bale balaq beratap jerami itu.

“Yon, tolong Bola punyamu di bagasi harus kamu relakan buat anak ini” pinta Saka. Yono bingung, dengan kesal Yono menuruti. Rama yang mengisak tangisnya tak bergeming menerima bola tersebut, Saka kehabisan akal menghadapi keponakannya. Entah ada urusan apa ini, tak ada yang tahu.

“Yon, anak ini adalah gambaran seorang Saka sewaktu masih kecil, bandel. Dan kamu tau benar watakku?” kata Saka pelan sangat serius.

“Maksud sampean opo? ada apa sih ini…!?” bentak Yono heran.

“Baju Arema yang kamu pakai…!?” kata Saka serius tanpa melanjutkan kalimatnya.

Yono bertambah kesal, terlihat dari rautnya yang merah padam. Lamat-lamat Yono membuka baju aremanya terpaksa. Rama yang semula membuang muka tiba-tiba dengan cepat meraih baju Arema dari tangan Saka. Semua terpaku kebingungan melihat Rama yang menjadi perhatian. Rama masuk kamarnya beberapa saat, lalu keluar dengan wajah tertunduk malu, menyembunyikan kedua tangan dibelakang punggungnya. Semua kebingungan dan tanda tanya terjawab.

”Alhamdulillah…” semua bernafas lega dan bergembira degan munculnya handycam milik Yono dari balik tangan Rama.

Saka benar-benar lupa pada janjinya di telpon satu minggu lalu. Membawakan Rama oleh-oleh bola dan baju team arema. Rupanya Rama hanya mencari perhatian pamannya. Saka ingat bagaimana ia menceritakan dahsyatnya gropyokan Arema dan fanatiknya Aremania pada keponakannya.

“Hahaha…Rama, Rama, dasar anak keturunan maling kamu…!” seloroh pak Lalu Rais mengacak-acak rambut Rama, kak Manto dan istrinya malah tertawa terbahak-bahak termasuk Saka dan dua orang hansip itu. Sementara Yono, Willy, Risa dan Indah cengar-cengir saling menatap tak mengerti.

“Apa maksud bapak…?” tanya Willy heran.

“La iya, sampean-sampean ini anak pengemis, kalau Rama dan Saka itu anak maling…!?” Jawaban Kepala Desa itu membuat tawa bertambah pecah. Willy, Yono, Risa dan Indah sama sekali tidak mengerti dan hanya bertanya-tanya dalam hati.

Belakangan barulah mereka mengerti bahwa adat suku Sasak Lombok dalam perkawinan adalah dengan memaling atau mencuri calon istrinya, itulah kenapa sang anak disebut anak maling. Sedangkan tradisi melamar sang calon istri, sama halnya dengan mengemis, canda Pak Kepala Desa itu masuk di akal. Khasanah bumi Nusantara memang kaya dengan alam, suku bangsa, kearifan tradisi dan budayanya.

~ (bersambung) ~


Aksi

Information

Tinggalkan komentar